Semua Murid Semua Guru: Toleransi yang Bukan Basa-Basi

Pendidikan toleransi pada anak adalah tanggung jawab besar. Anak-anak kita akan melalui begitu banyak tantangan kehidupan. Apa yang kita tumbuhkan sejak dini akan memberikan gambaran tentang kondisi negeri.

Mengajar toleransi biasanya dimulai dari nasihat pada anak untuk saling menghormati antar golongan. Tetapi sebetulnya anak lebih efektif belajar saat ia mengalami sendiri, berinteraksi dengan penuh akhlak bersama golongan yang beragam, kemudian diajak berefleksi. Saat mengajar toleransi, kita kadang mengabaikan pertanyaan "sulit" yang dirasakan anak. Padahal sesungguhnya, ketidaknyamanan dan prasangka anak saat berhadapan dengan perbedaan (suku, agama, ras, bahasa dan lain sebagainya) adalah bagian penting dari perkembangan yang justru harus dikomunikasikan.

Di bangku kelas dan di ruang keluarga, kita punya banyak pilihan untuk menumbuhkan atau justru mematikan toleransi.

Budaya saling membantu dalam keberhasilan maupun kesulitan, tanpa membedakan sesama, perlu dibangun dengan penuh perencanaan. Pelajaran dalam pendidikan itu bukan hanya terjadi di batasan dinding rumah dan sekolah. Anak perlu terlibat kegiatan sosial-ekonomi di lingkungan yang dilakukan oleh semua warga. Karena toleransi bukan sekedar kesadaran pasif tapi aksi aktif.

Memaparkan gagasan yang mewakili berbagai sudut pandang, serta berasal berbagai latar belakang, perlu dirancang lewat pembiasaan. Kesempatan dalam pendidikan itu bukan sesuatu yang terjadi kebetulan. Anak tidak hanya perlu menikmati keunikan seni dan literasi namun juga harus berkolaborasi dan berkreasi. Karena toleransi bukan penerimaan pasif, tapi penghargaan aktif.

Pendidikan toleransi pada anak adalah proses belajar yang berkelanjutan. Anak-anak kita tidak bisa melaluinya sendirian. Coba tanyakan pada diri kita sendiri, apakah kita termasuk pendidik yang peduli atau memilih apati pada harapan Indonesia di masa depan.

Bagikan referensi ini