5 Kemungkinan Orangtua Menurunkan Prasangka dan Rasisme kepada Anak

Setiap kali kita melihat anak-anak yang bermain dengan riangnya, tanpa mempedulikan suku, etnis dan agama satu sama lain, kita seakan diingatkan bahwa tidak ada orang yang terlahir rasis. Pemandangan seperti ini biasanya memberi kita harapan, namun terkadang terbersit juga "realita" di kepala bahwa anak-anak tersebut mungkin tidak akan selalu bersahabat seperti ini. Sedihnya, tidak banyak dari kita yang mau membicarakan bagaimana anak "belajar" berprasangka.

Jika kita mau jujur, kita harus berani mengakui bahwa kita adalah bagian dari masalah. Kenyataan pahit memang, tapi kita perlu mengakui bahwa kita suka yang terkadang berprasangka dalam kehidupan sehari-hari, dan menularkannya ke anak. Prasangka adalah penilaian tak adil terhadap seseorang, karena didasarkan pada ras, agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Rasisme terjadi saat kita menggabungkan prasangka dengan rasa berkuasa, dan menggunakannya untuk mendiskriminasi kelompok lain secara sistematis.

Meski mengubah rasisme bukanlah hal yang mudah, berikut 5 kemungkinan orangtua menurunkan prasangka kepada anak, yang harus dihindari karena dapat menumbuhkan rasisme:

1. Beda Omongan, Beda Kelakuan

Kita mengajarkan kepada anak untuk "tidak menilai buku dari sampulnya", tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar mengaplikasikan ini di kehidupan sehari-hari? Dari hal-hal kecil saja. Pernahkah kita melakukan stereotip dan menilai orangtua lain saat berada di taman bermain? Pernahkah kita mencegah anak bermain dengan anak lain yang berbeda latar belakang? Kita bisa berpura-pura anak tidak "ngeh" dengan apa yang kita lakukan, tapi jangan lupa bahwa anak-anak selalu memperhatikan dan mereka bagaikan sponge yang selalu menyerap berbagau hal yang terjadi di sekitarnya.

Ketika kita terburu-buru mengunci pintu mobil saat melihat orang lain yang kita anggap mencurigakan, apakah kita menjelaskannya kepada anak? Ataukah kita lebih sering membiarkan anak melakukan penilaian sendiri dengan melihat air muka kita yang kuatir? Biasakanlah untuk selalu menjelaskan kepada anak agar mereka tidak mengambil kesimpulan sendiri dan diam-diam menanamkan bibit prasangka di kepalanya.

2. Kita Mengucapkan Kata-kata Negatif Tanpa Berpikir

Ketika kita frustrasi akan sesuatu, kadang kita mengatakan hal-hal negatif tanpa berpikir, misalnya, "Dasar (menyebutkan satu suku atau etnis!". Bahkan untuk anak berusia 2 tahun, hal ini terekam di kepalanya. Inilah cara paling "gampang" menurunkan prasangka.

Apapun yang membuat kita frustrasi, perkembangan situasi politik yang kita tonton di TV misalnya, pastikan untuk menahan diri dari mengatakan hal-hal yang mengandung prasangka agar anak punya penilaian yang netral dan nantinya bisa membuat penilaian sendiri berdasarkan pengalamannya.

3. Kita Mengaburkan Sejarah

Ketika kita mengaburkan sejarah atau tidak menyampaikan fakta-fakta sejarang dengan maksud melindungi anak, kita tidak memberi mereka informasi yang mereka butuhkan untuk benar-benar mengerti sistem penindasan yang mempengaruhi masyarakat. Kita merugikan anak saat berpura-pura bahwa rasisme dan prasangka tidak nyata ada. Ini harus dihentikan kalau kita menginginkan perubahan. Bagaimana caranya? Cari bahan bacaan atau film misalnya, yang sesuai dengan umur anak, yang mengungkap hal-hal terpahit pun dalam sejarah Indonesia, dan jawab dengan jujur saat anak bertanya.

4. Kita Fokus pada Penampilan Seseorang

Ketika kita membuat komentar penuh prasangka saat melihat seseorang yang memiliki tato, ketika kita bilang bahwa perempuan harus berpakaian dengan cara tertentu agar tidak dianggap menggoda laki-laki, artinya kita mengajarkan kepada anak bahwa tidak semua orang patut dihormati. Bahwa ada orang-orang tertentu yang lebih baik dari orang lain, dan merekalah yang patut kita hormati. Di sinilah bias diturunkan. Meski maksudnya adalah untuk melindungim tanpa sengaja, kita mengajarkan stereotip kepada anak dan memperkenalkan mereka kepada jalan hidup penuh prasangka.

Apa dalam hidup setiap saat kita akan selalu merasa aman? Tentu tidak. Tapi kekuatiran ini harus dijelaskan ke anak dengan bahasa yang mereka mengerti.

5. Kita Diam Saja Saat Orang Berprasangka

"Pada akhirnya, kita tidak akan mengingat kata-kata musuh, tetapi kita akan ingat keheningan teman kita." Sungguh jleb kata-kata dari Dr. Martin Luther King ini – dan harus kita ingat saat berada di situasi yang tidak nyaman. Saat kita diam saja saat ada anggota keluarga atau teman yang bicara soal hal-hal sensitif dan mengungkapkan pendapatnya yang penuh prasangka di depan anak kita, anak akan menganggap kita setuju dengan pendapat tersebut. Tentu, kadang kita berpikir, "Dibahas nanti saja saat semua sudah pulang", tapi kalau kita benar-benar ingin membuat perubahan, kita juga harus berani keluar dari zona nyaman dan dengan cara yang sopan, mengungkapkan ketidaksetujuan. Ini penting agar anak paham bahwa kita tidak mentolerir prasangka. Anak juga akan jadi belajar untuk membela orang yang menjadi korban prasangka.

Untuk mencegah hal ini terjadi, terutama saat situasi sosial dan politik di Indonesia sedang sensitif seperti sekarang, bisa juga kita ingatkan anggota keluarga atau teman untuk tidak mengungkapkan pendapat mereka yang berprasangka ini di depan anak-anak.

Membesarkan anak bukanlah hal yang mudah. Membesarkan anak yang memiliki kesadaran sosial lebih susah. Mengakui bahwa kita adalah bagian dari masalah, mungkin ini yang paling susah. Yang pasti, kita tidak sendiri. Ada banyak orangtua yang memiliki kekuatiran yang sama dan mau membuat perubahan, yang bisa menjadi teman bertukar pikiran dan pengalaman.

--

Diterjemahkan dari huffingtonpost.com. Konteks mungkin disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Bagikan referensi ini