Bagaimana Anak Belajar tentang Ras, Stereotip dan Prasangka

Kita yang sudah menghabiskan banyak waktu dengan anak kecil pasti tahu, mereka punya cara sendiri untuk membentuk gagasan tentang dunia sekitar, tidak peduli pelajaran apa ditanamkan oleh keluarga dan guru mereka. Hal-hal yang tidak kita inginkan untuk mereka tangkap pun, bisa mereka tangkap. Ini terjadi juga ketika kita bicara tentang perbedaan ras. Para peneliti menemukan bahwa walaupun ras adalah konstruksi sosial yang kompleks, anak-anak sudah mulai bisa menerimanya sejak balita.

Erin N. Winkler, seorang profesor dan ketua Departemen Afrikologi di University of Wisconsin-Milwaukee, sepanjang karirnya mempelajari bagaimana anak-anak membentuk gagasan tentang ras dalam tahap awal perkembangan mereka. Ketika mereka penasaran mulai mencari tahu bentuk dan warna, anak-anak juga memperhatikan perbedaan yang terlihat di antara orang-orang dan memahami identitas mereka sendiri, termasuk konsep ras. Tentunya perkembangan ini bukan berarti mereka punya sifat fanatik. Sebaliknya, pemikiran mereka tentang ras berasal dari proses pengamatan dan penggolongan yang normal.

Winkler menjelaskan penelitiannya tentang perilaku ini dalam sebuah ceramah pada tanggal 13 Oktober 2015 yang berjudul "Children Are Not Colorblind", yang disampaikan di Cabang Pusat Perpustakaan Madison di pusat kota Madison. Winkler menjelaskan bagaimana pengertian anak tentang ras berhubungan dengan perkembangan kognitif mereka, juga dengan pesan yang disampaikan orangtua dan masyarakat.

Winkler berpendapat, orang dewasa seharusnya tidak mengabaikan atau mencegah pertanyaan anak tentang ras. Bahkan ia menyebut penelitian yang menunjukkan bahwa dengan mendorong anak-anak untuk menjadi "buta warna" dan menghindari pergulatan dengan kerumitan ras, justru bisa memperkuat prasangka dan mempersulit perjuangan melawan rasisme dalam jangka panjang.

Fakta-fakta Penting

  • Ras adalah konstruksi sosial, dan berbeda antara satu budaya dan budaya lain. Misalnya istilah rasial "hitam" punya arti yang berbeda di antara Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan dan Brasil.
  • Banyak orang yang menyamakan penggunaan istilah "prasangka" dan "rasisme", tapi ilmuwan sosial seperti Winkler melihatnya berbeda. "Mengkategorikan" atau "menggolongkan" adalah proses normal untuk mengelompokkan sesuatu dengan ciri-ciri yang sama. Penggolongan ini menjadi "stereotip" ketika suatu kategori ditambahkan praduga budaya. Stereotip menjadi "prasangka" ketika ditambahkan keyakinan bahwa karakteristik kelompok dari golongan tertentu dianggap lebih unggul dibanding yang lain. Prasangka bisa berkembang jadi "rasisme" kalau dikombinasikan dengan kekuatan sosial kelompok, dan menjadi sistemik.
  • Orang cenderung membenarkan stereotip yang mereka percayai, walaupun kenyataan yang mereka lihat berbeda. Ketika seseorang melihat sesuatu yang menegaskan sebuah stereotip, ia mungkin akan menganggap hal itu sebagai konfirmasi dari asumsinya. Proses ini disebut Winkler sebagai "generalisasi." Tapi, ketika seseorang melihat hal yang tidak sesuai dengan sterotip, ia mungkin akan menganggapnya sebagai penyimpangan. Proses ini disebut Winkler sebagai "pengecualian".
  • Bayi berumur 3 sampai 6 bulan bisa secara non-verbal menggolongkan orang sesuai ciri-ciri rasial. Anak-anak berumur 2 tahun bisa menggunakan golongan-golongan ini untuk memahami alasan perilaku seseorang. Mereka juga sudah bisa menunjukkan prasangka rasial sejak berumur 3 tahun.
  • Mulai memperhatikan dan bertanya tentang perbedaan warna kulit dan ciri khas lainnya adalah perkebangan yang normal untuk anak-anak prasekolah. Anak-anak berumur 3 sampai 5 tahun kebanyakan mulai belajar untuk mengelompokkan segala macam hal.
  • Anak-anak terpapar stereotip rasial dengan cara halus dan terbuka, melalui media, buku-buku, dan pengalaman sendiri di lingkungan mereka.
  • Anak-anak tidak selalu mempelajari keyakinan mereka tentang ras dari orangtua. Orang dewasa membentuk pemahaman anak-anak tentang kelompok mana yang penting, tapi anak-anak sering kali membentuk dugaan mereka sendiri tentang perbedaan di antara kelompok tersebut. Tapi seiring berjalannya waktu, pesan sosial tentang ras bisa memperkuat prasangka anak-anak.
  • Penelitian menemukan bahwa dengan mencoba untuk mengajarkan anak-anak dengan cara "buta warna" justru bisa menjadi bumerang dan meningkatkan ketidaksetaraan rasial.

Kutipan-kutipan Penting

  • Tentang anak-anak prasekolah yang memperhatikan hal-hal seperti warna kulit: "Inilah awal dari pembentukan ide mereka tentang suku atau etnis, dan bagaimana tanggapan kita akan menjadi bagian besar dari bagaimana gagasan itu terbentuk."
  • Tentang seberapa mudah anak-anak bisa membentuk prasangka: "Untuk anak-anak pada usia ini, seluruh dunia adalah teka-teki kognitif mereka. Mereka mencoba untuk memahaminya. Jadi ketika mereka melihat pola, kalau mereka tidak mendapatkan penjelasan kenapa pola ini ada, mereka sering menyimpulkan bahwa ini adalah norma atau peraturan, bahwa inilah yang seharusnya terjadi, dan faktanya hal-hal ini pasti disebabkan oleh perbedaan yang berarti atau inheren antar kelompok. Ini sebabnya kenapa walaupun bisa dianggap tidak masuk akal, dengan tidak membicarakan tentang ras, suku, atau etnis dengan anak, pada kenyataannya meningkatkan prasangka."
  • Apa yang harus dilakukan ketika anak-anak membicarakan tentang ras: "Saya pikir hal terpenting adalah rasa nyaman ketika membicarakan tentang ras, rasisme, dan ketidaksetaraan rasial, titik. Dan yang saya maksud adalah, kalau kita tidak bisa membicarakan masalah ini dengan orang dewasa lainnya, kita akan kesulitan membicarakannya dengan cara yang sesuai umur dengan anak berumur 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 tahun, atau bahkan remaja."

--

Diterjemahkan dari wiscontext.org. Konteks mungkin disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Bagikan referensi ini