Anak-anak dan Prasangka
Berbagai hal yang terjadi di Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan situasi sosial dan politik yang seringkali mengakibatkan polarisasi dan intoleransi, mempunyai dampak yang nyata untuk anak-anak.
Anak-anak adalah spons: Mereka menyerap berbagai hal di sekelilingnya, seperti bagaimana cara berpakaian, apa yang harus dimakan, termasuk apa yang harus dikatakan. Ini adalah hal yang wajar karena fungsi utama masa kecil adalah mencari tahu bagaimana hidup dalam masyarakat. Ini juga artinya anak mempelajari norma sosial, termasuk mempelajari pandangan eksplisit dan implisit masyarakat tentang status dan nilai dari kelompok sosial yang berbeda.
Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa pada sejak di TK, anak mulai menunjukkan banyak sikap rasial implisit yang sama dengan yang dimiliki orang dewasa. Anak-anak telah belajar mengasosiasikan beberapa kelompok dengan status lebih tinggi atau lebih positif dari yang lain.
Hubungan antara status dan keanggotaan kelompok dapat dipelajari oleh anak dengan cepat. Psikolog Kristin Shutts, Kristina R. Olson dan Suzanne R. Horwitz baru-baru ini memperkenalkan kelompok fiktif dengan status sosioekonomi yang berbeda kepada anak-anak, dan hasilnya, mereka dapat mengidentifikasikan kelompok mana yang lebih kaya dan menyatakan bahwa mereka lebih menyukai kelompok ini.
Sikap gender juga terbentuk sejak awal dan dapat dipengaruhi oleh isyarat yang halus. Misalnya, dalam eksperimen di sebuah TK dan SD, guru diinstruksikan untuk membuat kesan bahwa satu gender lebih baik dari yang lain. Mereka memperlakukan anak perempuan dan anak laki-laki dengan cara yang sama-sama positif, namun perlakuan terhadap mereka berbeda – misalnya anak laki-laki dan perempuan diminta untuk menggantung hasil gambar mereka di dinding yang berbeda, dan pelabelan "anak laki-laki" dan "anak permepuan" dipertegas. Dalam hal ini, anak-anak tidak diminta melakukan apa-apa (hanya sebagai pengamat), tapi setelah beberapa minggu, mereka jadi punya stereotip tertentu terhadap sebuah gender. Misalnya, mereka menjadi lebih cenderung berpikir bahwa anak laki-laki (bukan anak perempuan) seharusnya menjadi ilmuwan.
Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan bahwa sama seperti orang dewasa, informasi negatif lebih cepat "nempel" di kepala anak-anak. Bila orang dewasa di sekitarnya membicarakan kelompok suku, agama atau jenis kelamin tertentu secara negatif, informasi ini tidak akan dilupakan oleh anak-anak begitu saja.
--
Diterjemahkan dari nytimes.com. Konteks mungkin disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.