9 Pertanyaan tentang Kenapa Anakku Melakukan Bully atau Menjadi Korban Bully
Relawan Keluarga Kita (Rangkul) yang aktif mengadakan sesi Berbagi Cerita Rangkul secara rutin mengadakan sesi tanya jawal secara online di grup. Tanya jawab kali ini membahas tentang Kenapa Anakku Melakukan Bully atau Menjadi Korban Bully dengan narasumber Ibu Najelaa Shihab (Pendiri Keluarga Kita) dan moderator Ajeng, Rangkul Jakarta Timur.
Berikut ini catatannya.
1. Sebenarnya, batasan bully itu sendiri seperti apa? Apakah memanggil dengan nama ejekan sudah termasuk bully?
J: Bully adalah situasi konflik sosial di mana ada ketidakseimbangan power. Jadi, indikatornya bukan apa yang dilakukan, tapi hubungan antara pihak yang terlibat. Meledek saat bisa dibalas ledekan atau anaknya bisa mencari solusi dan menceritakan, mungkin itu adalah konflik biasa. Saat yang diledek tertekan sampai muntah-muntah dan mogok sekolah tanpa alasan jelas, mungkin itu bullying.
2. Anakku usia 8 tahun cenderung “mem-bully” teman-temannya secara verbal. Saya sudah berusaha untuk menjelaskan bahwa itu tidak baik, tapi belum berhasil. Saya sudah coba bicarakan baik-baik bahwa itu menyakitkan hati orang, juga belum berhasil. Buat dia itu lucu. Harus bagaimana, ya Bu?
J: Memang banyak anak yang merasa bully verbal itu lucu karena reaksi lingkungan pada saat itu memberikan “konsekuensi” yang salah dengan tertawa. Jadi, yang perlu dilakukan: – Menjelaskan bahwa perilaku yang kita lakukan atau tidak itu bukan karena konsekuensinya, tapi karena intensinya. Sesuaikah apa yang kita lakukan dengan nilai harus hormat dan sayang pada teman, bicara sopan, dll. Ini dilatihkan lewat kesepakatan bersama. – Memengaruhi lingkungan, misalnya guru atau teman untuk memberikan respons yang berbeda saat terjadi verbal bullying. Harus ada yang berani menyatakan keberatan, termasuk orangtua harus bisa mengkritik anak bahwa yang dilakukan tidak sesuai kesepakatan. – Menyalurkan kebutuhan anak dengan cara lain yang lebih efektif. Misalnya, kalau ia senang membuat temannya tertawa, diajarkan teka-teki atau lelucon yang bervariasi.
3. Apakah perilaku mem-bully dan di-bully pada saat kanak-kanak dapat berlanjut sampai dewasa? Mengingat masih ada (banyak, malah) orang dewasa yang perilakunya persis seperti penjelasan Bu Elaa tentang konsep bullying tadi. Untuk mencegah/menghadapi ini, apa yang sebaiknya dilakukan? Idealnya, tentu dicegah saat masih anak-anak, ya, tapi bagaimana kalau anak-anak melihat orang dewasa sang pem-bully tadi in action, atau malah anak-anak yang menjadi korban bully orang dewasa tersebut.
J: Perilaku apa pun, termasuk bully, akan terus berlanjut selama kebutuhan orang yang melakukan masih terpenuhi dengan cara itu dan dia tidak melalui proses belajar perilaku baru. Yang harus dilakukan adalah belajar perilaku yang lebih tepat, misalnya cara berkomunikasi dengan lebih efektif, seperti i-message, cara memberikan pilihan dan tidak melulu memerintah, dst. Tentu tergantung tingkat dan jenis bully-nya, tapi secara umum orang dewasa perilakunya lebih sulit berubah daripada anak karena pembentukan kebiasaanya sudah lebih lama. Practice makes permanent, kan :). Kalau anak menjadi korban bully orang dewasa akan susah untuk lepas kalau tidak ada bantuan dari orang dewasa lain karena secara alamiah kekuatan anak dalam hubungan jauh lebih lemah. Kalau anak melihat orang dewasa lain melakukan bully di depannya, orangtuanya harus menunjukkan teladan bagaimana aktif mencegah dan menghentikan bully, tidak diam saja atau melipir tanpa menolong.
4. Ada kesempatan untuk anak yang secara fisik tidak cantik/keren/kaya/tidak punya gadget paling keren/tidak ikut tidak berbusana paling mutakhir/tidak bisa dansa hip-hop untuk tetap bisa percaya diri, tidak minder dan disegani teman-temannya. Caranya bagaimana, ya Bu? Dulu saya korban bully karena jelek dan tidak keren. Soalnya kalau lihat anak zaman sekarang, kok, rasanya semua hampir sama pada kayak gitu tampilannya; jadi cemas.
J: Percaya diri itu disposisi yang positif dan ada di tiap anak. Anak baru lahir pasti percaya diri, misalnya bahwa kalau ia menangis, ibu akan ada dan menyusuinya mengurangi lapar. Jadi, rasa percaya yang diperkuat oleh respons lingkungan/orang terdekat yang menumbuhkan siklus kepercayaan sehingga percaya diri bukan soal penampilan fisik atau kepemilikan, tapi respons yang sensitif terhadap kebutuhan dari lingkungan. Kepercayaan diri juga tumbuh saat anak sukses menghadapi tantangan. Jadi, bukan yang melekat pada anak, tapi apa yang dialami. Nah, orangtua sering lupa memberikan ini, pengalaman menghadapi tantangan karena overprotektif atau ragu anak bisa, atau lupa bahwa anak perlu sukses (misalnya memberikan tantangan keberatan atau kesusahan). Jadi, percaya diri nggak muncul secara instan. Idealnya pada usia 8 tahun ke bawah saat peran orangtua terhadap kepercayaan diri besar, anak terus tumbuh dengan dasar percaya diri kuat sehingga saat masuk remaja dan pengaruh lingkungan lebih luas, dia sudah siap menghadapi pergaulan, tekanan, dll.
5. Anak saya paham betul ada beberapa teman special needs di sekolah maupun di tempat terapi maupun les renang yang suka mengganggu/mengejek dia. Awalnya, dia bisa bela diri atau marah nggak suka dikatain bayi misalnya. Tapi di tempat les renang, dia sering disuruh maklum sama beberapa guru lain, “Biarkan, jangan didengerin.” Aku sudah sampaikan ke gurunya, itu bukan hal yang benar, tapi terulang terus. Efeknya, anak saya jadi punya anggapan, “Nggak apa-apa mengalah, dia, kan, special needs.” Dan anak-anak itu pun juga nggak belajar, apakah memang kalau anak special needs tidak masuk kategori bully atau gimana, ya?
J: Iya, selalu menantang untuk bisa bersikap mendukung 100% saat menghadapi situasi anak dengan kebutuhan khusus (ABK), apalagi saat kita merasa anak kita menjadi korban. Yang saya selalu yakin, setiap interaksi itu adalah pengalaman belajar, semakin beragam maka semakin kita menyiapkan anak untuk menghadapi ragam tantangan saat dia dewasa dan tidak bersama kita. Termasuk pengalaman menjadi “korban”, menghadapi ABK, dll., jadi jangan dihindari. Yang penting dukung bahwa pengalaman anak jadi pengalaman sukses dan terus berempati. “Aku tahu susah, ya, buat sabar kalau dia kayak gitu, ada cara lain nggak, ya, biar dia tidak meledek kamu.” Akui juga kalau masalahnya sebenarnya ada di kita, misalnya anaknya tidak marah, tapi kita yang marah. Jadi, kita bisa mengendalikan emosi kita sendiri. Dan membedakannya dengan emosi anak, khusus ABK memang tahap perkembangan emosi dan sosialnya berbeda sehingga bisa dikategorikan bully atau tidak, standarnya agak berbeda dengan yang lain, terutama karena beberapa ABK tidak punya kemampuan memahami situasi sosial dan emosional.
6. Kasusnya adalah anak usia SD (9 tahun) di-bully sepupunya (usia sebaya) dengan kalimat-kalimat ejekan atau intimidatif sembari diancam nggak boleh cerita yang jelek-jelek ke orang lain. Bentuk bully, seperti dibilang hitam, dibilang tidak punya pendirian, dipaksa meminjamkan barang-barang yang baru dibeli, dicecar pertanyaan macam-macam setiap kali pulang dari bepergian dengan ibunya, dll. Anak yang mem-bully selalu bersikap manis ketika ada orangtuanya atau orangtua sepupunya, sementara si anak yang di-bully selalu cerita semua sambil menangis dan berkata sedih ke ibunya. Dan ibu korban bingung harus merespons apa karena ada perbedaan pola asuh anak dengan kakaknya. Khawatir berselisih paham dengan kakaknya. Respons apa yang sebaiknya ibu korban lakukan?
J: Tugas orangtua saat anak berusia 9 tahun sesuai tahap perkembangan anak adalah melatih dia mandiri menyelesaikan konfliknya sendiri. Kalau anaknya masih bisa mengaku serta mengadu dan cerita detail, mengekspresikan emosi dengan tepat, saya duga situasinya bukan bully, tapi memang konflik intens. Yang perlu dibantu anak yang menjadi korban agar bisa lebih asertif. Anak perlu dilatih mengatakan tidak, dengan jelas, tanpa teriak atau menangis. Anak perlu dilatih meninggalkan situasi saat dia merasa tidak nyaman. Anak perlu dilatih mengekspresikan emosi lewat verbal atau tertulis menyatakan kekecewaan dengan i-message. Jadi, lihat keterampilan sosial dan komunikasi apa yang diperlukan anak itu agar bisa bersosialisasi dengan baik. Untuk anak saudara kita, orangtua harus berbicara dengan orangtuanya untuk juga melatih keterampilan sosial yang dibutuhkan. Tidak perlu menyerang dengan bilang bully, justru kasih tahu apa yang akan dilakukan dari pihak orangtua korban sehingga semangatnya adalah reflektif dan anak-anaknya bisa saling belajar karena latihan bersama saudara akan menjadi latihan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas.
7. Saya dulu juga korban bullying waktu SMA karena tergolong anak yang “nggak gaul”, kutu buku, kuper, dan sejenisnya. Nah, saat punya anak, rasa trauma jadi korban bullying masih ada, akibatnya saya sering tidak tenang melepas anak di pergaulan, seperti lingkungan rumah dan sekolah. Pernah kepikiran untuk ambil program homeschooling buat anak-anak. Menurut Bu Elaa, saya harus bagaimana?
J: Aku lanjutkan dari penjelasan tadi, ya. Intinya pengalaman negatif kita jangan terbawa menjadi kekhawatiran berlebihan pada anak. Latihan menghadapi konflik sosial itu penting. Kalau tidak dapat, malah bahaya untuk perkembangannya. Homeschooling adalah pilihan yang cocok untuk beberapa situasi anak dan orangtua, tapi tujuannya bukan menghindari konflik sosial. Justru kalaupun anak homeschooling kita tetap perlu menciptakan berbagai situasi sosial yang beragam agar anak mengalami dinamikanya dan juga mencoba beragam peran di kelompok kecil maupun besar, teman sebaya ataupun yang lebih muda dan seterusnya. Jangan sampai anak hanya terus berinteraksi dengan orangtua di situasi rumah.
8. Sebenarnya, apa yang harus kita bekalkan ke anak agar anak bisa terhindar menjadi korban bully? Dukungan seperti apa yang tepat kita berikan ke anak kalau anak terlanjur menjadi korban bully, apakah kita sarankan untuk melawan pem-bully atau kita sarankan untuk bersabar?
J: Betul sekali bahwa kita harus preventif. Jadi, perlu menumbuhkan keterampilan sosial yang utuh sesuai tahapan perkembangan anak. Modal keterampilan sosial adalah keterampilan emosi. Jadi, mengenali emosi diri, mengekspresikan dengan baik, dll. akan menjadi bekal buat anak untuk berempati dengan emosi orang lain, menghadapi orang yang emosional, dst. Dengan bertahap, kita perlu mengajarkan anak cara berkenalan, cara masuk ke dalam kelompok yang sedang bermain, cara mengatasi konflik, cara mengatakan tidak pada tekanan kelompok, dll. Banyak yang anak harus bisa, tapi untungnya kesempatan mengajarinya juga banyak, setiap hari ada puluhan. Pastikan juga interaksi kita dengan anak, ya, memang menggunakan prinsip cinta, ini jadi bekal utama karena dia akan terbiasa dengan pola yang baik buat hubungannya dengan yang bukan orangtuanya.
9. Di keluarga suami, ada sepupunya yang paling kecil perempuan. Dari kecil tumbuh di tengah-tengah kakak-kakak sepupu dan om-tantenya yang rentang usia sangat jauh. Nah, anak ini sering jadi bahan ledekan keluarganya karena mungkin paling kecil, ya. Bentuk ledekannya macam-macam, sih. Suka diceritakan kebiasaan-kebiasaan anaknya yang bikin anaknya jadi suka malu. Akhirnya, anak ini sekarang tumbuh jadi anak super-pendiam dan jadi nggak mau akrab sama sekali dengan keluarga. Yang mau aku tanyakan, apa karena pengaruh sering diledek sedari kecil, ya? Sekarang anak ini sudah SMU dan sama sekali tidak mau dekat dengan keluarga besar. Terus pendekatan yang tepat bagaimana, ya Bu, supaya si anak mau dekat lagi sama keluarga besarnya?
J: Jarak usia pasti sangat memengaruhi interaksi dalam keluarga, apalagi kalau memang ternyata sering diledek dan seolah-olah dianggap anak kecil dan tidak penting. Sebetulnya dalam setiap hubungan itu perlu ada rasa percaya yang munculnya dalam bentuk komitmen, bisa diandalkan. Perlu juga ada rasa seru, muncul dalam bentuk sering main bersama (termasuk kadang lelucon/ledekan). Dan perlu kehangatan yang muncul dalam bentuk percakapan intim, saling curhat. Nah, kalau ada yang nggak pas kombinasinya, berlebihan, atau kurang jadinya nggak dekat. Untuk mendekatkan harus dibuat kesempatannya agar isi interaksi dengan anak ini bukan melulu bercanda, tapi ada komitmen dan kehangatan juga. Dimulai dari 1-2 orang dulu yang sudah lebih siap membina hubungan dengan dia, sebelum ke keluarga besar.
Sumber: keluargakita.com