Semua Murid Semua Guru: Melawan Perundungan
Masalah perundungan (bully) adalah salah satu masalah dalam pendidikan dan pengasuhan yang sangat populer beberapa tahun belakangan. Ibarat alarm, begitu mendengar kata “bully” semua orang langsung peduli.
Sayangnya, kesadaran tinggi di masyarakat saat ini, masih banyak dikelilingi miskonsepsi. Terlepas dari semangat melakukan perbaikan, kesalahpahaman malah seringkali memperburuk keadaan.
Salah kaprah bahkan dimulai sejak kita menentukan apakah suatu perilaku dan situasi termasuk perundungan atau bukan. Interaksi antar manusia, tentu rentan konflik, terlebih lagi saat mereka belum sepenuhnya memahami langkah menyelesaikan masalah.
Tidak semua konflik adalah perundungan, perbedaan utamanya terletak pada tidak seimbangnya kekuatan. Korban perundungan tak kuasa bersuara dan tak mampu mencari solusi, sedangkan individu yang mengalami konflik bisa saling mendengarkan dan memilih tindakan yang perlu dilakukan.
Konflik adalah kesempatan belajar yang perlu diselesaikan antar anak dengan mandiri. Dalam perundungan, perangkap hubungan jauh lebih besar, anak susah keluar dari lingkaran tekanan dan kekerasan tanpa bantuan. Mari lebih berhati-hati saat mengklaim kata "bully", agar perilaku ini tidak kemudian dianggap "normal" karena banyak sekali terjadi.
Melihat perundungan semata sebagai masalah individual adalah miskonsepsi lain dalam sudut pandang. Perundungan memang berkait kompetensi resolusi konflik yang belum tentu telah dimiliki oleh semua anak, juga faktor resiko individu, seperti anak yang butuh pengakuan sosial karena selama ini jadi korban kekerasan.
Tapi sesungguhnya, terlepas dari kompetensi dan resiko perorangan, kemampuan dan budaya lingkungan sangat besar pengaruhnya. Karenanya kebijakan dan penanganan, di sekolah ataupun di rumah, tidak bisa hanya mengintervensi anak-anak yang terlibat, tetapi harus menggerakan semua- korban, pelaku dan juga semua disekitar.
Perhatian utama saat berhadapan dengan perundungan adalah menyelamatkan korban. Kesalahpahamannya, korban dianggap hanya butuh dukungan agar tidak diam, kita hanya ramai menyebarkan cerita, kadangkala bahkan melabelkan mereka sebagai "penderita". Padahal, mereka bukan butuh reaksi kasihan, mereka butuh bantuan sistematis meningkatkan keterampilan kehidupan. Sesederhana cara memperkenalkan dan menyampaikan keinginan diri, menyatakan maaf dan terimakasih, menghadapi ledekan dan bujukan teman, bukan sesuatu yang bisa dipelajari sendiri.
Anak butuh keragaman pertemuan serta kekayaan pengalaman untuk mampu bersosialiasi dengan percaya diri. Bila penanganan korban hanya seperti memadamkan kebakaran, tanpa peningkatan kompetensi jangka panjang, akhirnya kita tidak mengurangi resiko berulangnya tekanan sosial di kemudian hari.
Salah kaprah ketiga, berkait dengan pelaku perundungan. Mudah sekali menyederhanakan masalah dengan mengatakan betapa nakal atau jahatnya mereka. Padahal seringkali, pelaku adalah wujud lain dari anak yang juga korban.
Sebagian besar dari mereka "hanya" butuh dukungan sosial, sayangnya mereka belajar dari lingkungan bahwa cara mendapatkannya adalah lewat kekerasan. Kebiasaan meledek disuburkan reaksi tertawa dan teriakan penonton, kecendrungan menyalahkan orang diteladankan guru atau orangtua yang selalu menuntut kesempurnaan.
Walaupun banyak kasus perundungan yang dilakukan diam-diam, pada saat tertentu banyak juga yang bisa disaksikan oleh orang banyak. Saksi perundungan secara populasi paling banyak, tapi yang paling sering tidak ditangani serius, seolah tidak terkait dengan proses penyelesaian. Dalam kesalahpahaman, kita melupakan kekuatan yang bisa mendorong perbaikan terbesar.
Budaya sekolah bisa merubah perilaku individu dan lingkungan. Tanpa sadar, pendidik menumbuhkan iklim persaingan berlebihan yang membuat apapun yang terjadi di sekolah terasa seperti pertarungan yang menghalalkan segala cara, bukan layaknya pertandingan bermutu di lapangan olahraga. Penekanan pada ranking dan nilai ujian, akreditasi dan sertifikasi, bukan hanya membebani secara administrasi tetapi juga menjadi beban sosial-emosional yang sangat mempengaruhi interaksi.
Orang dewasa maupun anak yang berada di sekeliling pelaku dan korban perundungan adalah kunci solusi bila perannya tidak sekedar pasif sebagai saksi. Memediasi konflik sebelum tereskalasi, menghentikan kekerasan saat penyerangan, menginisiasi persahabatan tulus dengan teman berkebutuhan khusus, semua keterampilan ini tidak otomatis dimiliki oleh anak, tetapi harus dibiasakan lewat "kurikulum" yang punya tujuan menciptakan kepedulian antarangkatan dan pada lingkungan.
Seperti banyak hal di pendidikan, kita mudah sepakat pada cita-cita, tetapi selalu berdebat soal cara.
Semua setuju perundungan tidak bisa dibiarkan, tetapi tidak menjadikannya prioritas pendidikan.
Kita sering lupa, seperti semua proses di pendidikan, menangani perundungan adalah soal pencegahan dan pembiasaan, bukan semata penindakan dan hukuman. Kasus "baru" yang heboh di media sosial jangan sampai menjadi cerita "lama". Sekedar peringatan sesaat yang diwarnai keprihatinan tapi tidak menggerakan perubahan penanganan dan kebijakan.
Sumber: Kumparan.com