Ajarkan Toleransi pada Anak Lewat Buku Cerita

Jakarta, CNN Indonesia -- Toleransi akhir-akhir jadi topik yang hangat dibicarakan. Topik ini sebetulnya relevan bagi semua kalangan, tapi nampaknya hanya sebatas pembicaraan orang dewasa. Padahal, anak-anak perlu dilatih untuk menerima dan menghargai perbedaan di sekitarnya, apalagi Indonesia merupakan negara yang majemuk.

Berawal dari cerita seorang teman, penulis Sekar Sosronegoro pun menyayangkan jika seorang anak tak bisa menjadi dirinya sendiri hanya karena takut dicap berbeda sehingga ia tak punya teman.

"Waktu itu sekitar 2009 saya punya teman, dia cerita dia punya anak. Anak ini takut melakukan hal A dan A karena takut dibilang berbeda sama temannya," cerita Sekar di sela peluncuran buku "Kitu, Kucing Kecil Bersuara Ganjil" di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (20/7).

"Sayang banget kalau anak tidak bisa jadi dirinya sendiri hanya karena dia takut tidak punya teman."

Hal inilah yang menggelitik hati Sekar Sosronegoro untuk menulis sebuah buku dengan tema toleransi. Menurutnya anak lahir tanpa prasangka. Namun seiring berjalannya waktu nanti dia akan bersosialisasi kemudian menemukan hal-hal atau masalah yang berkaitan dengan toleransi.

"Saya pikir pendidikan toleransi harus dimulai sedini mungkin," tambahnya.

Diskusi tentang toleransi pada anak.

Diskusi tentang toleransi pada anak. (Foto: CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari)

Bicara soal toleransi dan perbedaan, pekerja seni yang juga turut hadir dalam peluncuran buku seperti sutradara Nia Dinata berbagi sedikit cerita.

Sejalan dengan Sekar, Nia pun merasa penanaman toleransi memang penting dimulai sejak dini. Jika Dira berkarya dan mengungkapkan buah pikirannya dengan lagu, maka Nia melukiskannya dengan film. Menurut Nia, apresiasi masyarakat terhadap film seakan makin bergeser. Pertanyaan seputar hal-hal yang menurut mereka berbeda semakin tajam.

"Ada yang tanya, karakternya agamanya apa. Kalau dulu arahnya lebih ke teknis dan sebagainya, lalu makin ke sini pertanyaannya makin kuat. (Saya merasa) ada penilaian orang agak bergeser," ujarnya.

Selain Nia, praktisi pendidikan, Najelaa Shihab pun angkat bicara. Buku akan menjadi salah satu alat bagi orang tua dalam rangka memperkenalkan dan mengajarkan toleransi pada anak. Namun jika lingkungan di sekitar anak sudah sedemikian homogen, maka kewajiban orang tua untuk menghadirkan sesuatu yang heterogen bagi anak. Hal ini akan membuat anak terbiasa dengan hal yang berbeda di sekitarnya.

"Anak kecil itu observer yang baik, hanya saja mereka itu very bad interpreter. Nah orang tua di sini membantu anak menerjemahkan atau interpretasi yang memang menghargai. Jangan mengajarkan anak buat takut," ucapnya.

Sekar mengatakan, buku Kitu ini dapat dibaca anak-anak dari berbagai usia. Anak usia 0-6 tahun dapat dibacakan oleh orang tua kemudian dari sini akan muncul obrolan seputar perbedaan yang mungkin selama ini jarang diangkat sebagai bahan pembicaraan.

"Buku ini akan extra useful buat anak-anak yang akan memasuki dunia baru misalnya mau masuk TK atau SD, karena di situ anak akan bertemu banyak teman dari berbagai latar belakang. Mudah mudahan buku ini bisa jadi bekal untuk mereka, agar mereka tidak judgemental sama orang yang berbeda," jelas Sekar.

Setelah buku Kitu, lanjutnya, ia berkata akan ada buku berikutnya dalam seri buku toleransi.Ia menyadari bahwa sebelum toleransi, maka perlu untuk menerima perbedaan. Rencananya, buku-buku berikutnya masih merupakan elemen toleransi, misalnya prasangka. Sekar mengatakan sudah menyiapkan tiga cerita.

Ia berharap, bukunya dapat diterima publik, khususnya anak-anak Indonesia.

"Saya ingin anak indonesia itu merasa dicintai tanpa perlu menjadi orang lain," tutupnya.

Sumber: cnnindonesia.com

Bagikan berita ini